Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Bermula
dari kepulangan Khomeini ke Iran pada 1 Februari 1978 dari
pengasingannya di Paris, Khomeini langsung menyerukan penggulingan
Perdana Menteri Shapour Bachtiar, yang menjadi kepanjangan tangan Shah
Iran. Khomeini seakan-akan menjadi antitesa dari rezim Shah Iran yang
disokong oleh Amerika Serikat. Ia seolah menjadi tokoh anti-Amerika dan
Barat.
Karena
itu, banyak kalangan muda di dunia Islam yang tertindas oleh
rezim-rezim yang menjadi kaki tangan Amerika Serikat dan Barat,
menemukan bentuknya yang baru, dan sosok Khomeini sepertinya menjadi
pahlawan mereka. Kemudian dengan penuh semangat mereka mengidentikkan
diri mereka ke dalam revolusi “Islam” Iran ala Khomeini. Inilah awal
masuknya pengaruh Iran ke dunia Islam.
Sejatinya,
revolusi “Islam” Iran itu tidak lain hanyalah revolusi kaum Syiah yang
ingin meluaskan pengaruhnya ke dunia Islam sehingga banyak muncul
kekuatan politik baru yang bercorak ideologi Syiah.
Sejarah
Syiah di Indonesia memiliki alur yang sangat abu-abu. Banyak sekali
klaim-klaim sejarah yang dimotori oleh kaum Syiah sendiri. Sampai hari
ini, ada beberapa pihak yang menyimpulkan bahwa Syiah masuk ke Indonesia
pada abad ke-12 Masehi, dibawa oleh bangsa Persia. Akan tetapi, hal ini
kemudian dianulir oleh Syiah.
Salah
seorang tokoh Syiah, Jalaluddin Rakhmat, ketika ditanya tentang kapan
kali pertama Syiah masuk Indonesia, menjawab, “Tidak ada yang tahu pasti
karena tidak pernah ada sejarah yang mencatatnya. Tapi saya duga, Islam
yang pertama kali masuk ke Aceh sekitar abad ke-8 atau waktu Dinasti
Abbasiyah. Ketika itu orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk
berdakwah. Tapi mereka tidak menunjukkan dirinya Syiah, melainkan
bertaqiyyah (berpura-pura) menjadi pengikut mazhab Syafi’i.” (www. tempo.co)
Demikianlah
klaim Jalaluddin Rakhmat. Tentu, ini hanyalah sebuah klaim yang tidak
bisa kita terima begitu saja. Sebab, orang-orang Hadramaut lebih dikenal
sebagai penganut mazhab Syafi’i dalam hal fikih dan berpemahaman sufi.
Sebenarnya,
pada 1976 di Indonesia telah berdiri sebuah yayasan yang menjadi corong
Syiah, yaitu Yayasan YAPI (Yayasan Pesantren Islam di Bangil) yang
didirikan oleh Husein al-Habsyi. Santri pada pesantren ini kemudian
dituntut untuk mengkaji akidah Syiah secara mendalam. Lulusan pesantren
ini pun banyak memotori dakwah Syiah di beberapa tempat di Indonesia
dengan “visi” terselubung.
Sementara
itu, 1979 adalah tahun terjadinya revolusi Iran. Perlu dicatat bahwa
sebelum itu, beberapa orang Indonesia sudah ada yang belajar di Qum,
Iran. Tempat ini merupakan wadah atau sebagai madrasah Syiah terbesar
ke-4 di dunia, setelah Najaf dan Karbala di Irak, dan Mashad di Iran
sendiri.
Ditinjau dari perjalanan sejarah, komunitas Syiah di Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga generasi, yaitu:
1. Generasi utama.
Sebelum
meletus revolusi Iran pada 1979, Syiah sudah di Indonesia, baik
Imamiyah, Zaidiyah, maupun Ismailiyah. Mereka menyimpan keyakinan itu
hanya untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga yang sangat terbatas.
Karena itu, mereka bersikap sangat ekslusif, tidak atau belum punya
semangat menyebarkan ajarannya kepada orang lain.
2. Generasi kedua.
Generasi
ini didominasi oleh kalangan intelektual, kebanyakan berasal dari
perguruan tinggi. Dari segi struktur sosial, generasi ini berasal dari
kelompok menengah ke atas, mayoritasnya adalah mahasiswa dan akademisi
perguruan tinggi. Sebagian referensi menyebutkan bahwa dakwah yang
berporos di lingkungan mahasiswa terjadi pada rentang tahun
1970—1980-an. Mereka tertarik dengan pemikiran-pemikiran Syiah.
Bersamaan dengan itu mahasiswa pun tertarik pada pemikiran Hasan
al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Sayyid Quthub, dan Ikhwanul Muslimin.
3. Generasi ketiga.
Kelompok
ini—terutama lulusan Qum di Iran—mulai mempelajari fikih Syiah, bukan
lagi sebagai pemikiran. Mereka cenderung berkonflik dengan kelompok
lain, bersemangat misionaris yang tinggi dalam menyebarkan ajarannya dan
cenderung memosisikan diri sebagai representasi orisinal tentang paham
Syiah dan atau sebagai pemimpin Syiah di Indonesia.
Perkembangan Syiah di Indonesia
Setelah
berhasilnya Revolusi Iran, berbagai varian tulisan yang berbau Iran
mulai didistribusikan. Akibatnya, secara independen akidah Syiah tersiar
di belantara nusantara. Tulisan-tulisan tokoh Syiah membanjiri
toko-toko buku di Indonesia. Dikupaslah seputar revolusi Iran, Khomeini,
dan filsafat Syiah yang miring, oleh penerjemah-penerjemah Indonesia.
1. Penerbitan Buku
Salah satu penerbit yang kemudian memfasilitasi buku-buku terjemahan Syiah adalah Mizan,
yang dipelopori oleh Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin.
Mereka semua merupakan lulusan dari ITB. Mizan sendiri dibentuk pada 7
Maret 1983. Buku yang pertama kali diterbitkan sebanyak 2.000—3.000
eksemplar, berjudul Dialog Sunni-Syiah, Surat Menyurat antara
asy-Syaikh al-Misyri al-Maliki, Rektor al-Azhar di Kairo Mesir dan
as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-Amili, Seorang Ulama Besar Syiah. Buku ini kemudian banyak menjadi perhatian saat itu.
Penerbit
Syiah ini banyak dibantu oleh ayah Haidar Bagir, yaitu Muhammad
al-Bagir al-Habsyi, yang dikenal sebagai tokoh yang mengidolakan Syiah.
Pada akhirnya, penerbit Mizan banyak berperan dalam menerbitkan
buku-buku pemikiran Syiah pada dekade 1980—1990, sehingga masyarakat pun
mencap Mizan sebagai corong Syiah.
Kemudian Syiah menerbitkan sejumlah majalah dan buletin, hingga kini yang tersebar di antaranya;
- Majalah al-Quds, diterbitkan oleh Kedutaan Besar Iran di Jakarta dalam bahasa Indonesia;
- Majalah al-Mawaddah, diterbitkan oleh IJABI Cabang Bandung, Jabar;
- Majalah al-Hikmah, diterbitkan Yayasan al- Muthahhari Bandung;
- Bulletin al-Jawad dan al-Ghadir, diterbitkan oleh Yayasan al-Jawad Jakarta;
- Bulletin at-Tanwir, diterbitkan oleh Yayasan al-Muthahhari,
dan majalah serta buletin lainnya yang tersebar di Nusantara.
2. Pendirian Yayasan
Pada
3 Oktober 1988, Haidar Bagir, Agus Effendi, Ahmad Tafsir, dan Ahmad
Muhajir, serta Jalaludin Rakhmat, mendirikan Yayasan Muthahhari.
Jalaludin Rakhmat pada awalnya aktif berbicara seputar pemikiran Hasan
al-Banna, Sayyid Quthub, dan Said Hawwa. Akan tetapi, pertemuannya
dengan Husein al-Habsyi membuatnya berafiliasi kepada Syiah dan mulai
aktif berbicara seputar akidah Syiah.
Orientasi
dari Yayasan Muthahhari adalah SMA Muthahhari. Maka dari itu, SMA ini
kemudian dikenal sebagai sekolah modern milik Syiah yang pertama di Kota
Kembang Bandung.
Hingga
2001, Syiah telah mendirikan 36 yayasan di Indonesia dan terus
bertambah sampai sekarang. Di antara yayasan yang telah mereka dirikan
ialah
- Yayasan Fatimah, Condet Jakarta;
- Yayasan Al-Muntazhar, Jakarta;
- Yayasan Mulla Shadra, Bogor;
- YAPI, Bangil;
- Yayasan Al-Itrah dan Yayasan Al-Hujjah, Jember;
- Yayasan Madina Ilmu, Bogor;
- Yayasan Al-Baro’ah Tasikmalaya;
- Yayasan As-Salam, Majalengka;
- Yayasan Al-Mujtaba, Purwakarta;
- Yayasan Rausyan Fikr, Jogya;
- Yayasan Al-Ishlah, Cirebon;
- Yayasan Al-Wahdah, Solo;
- Yayasan Al-Amin, Semarang;
- Yayasan Safinatunnajah, Wonosobo;
- Yayasan Pintu Ilmu, Palembang;
- Yayasan Al- Hakim, Lampung;
- Yayasan Ulul Albab, Aceh;
- Yayasan Arridho, Banjarmasin;
dan lainnya.
3. Pendirian Pesantren
Selanjutnya,
pada 1989, berdiri pesantren Al-Hadi di Pekalongan, Jawa Tengah, yang
didirikan oleh Ahmad Baragbah dan Hasan Musawa. Pendirian ini didesak
guna menjembatani para pelajar Syiah untuk bisa melanjutkan studi ke
Qum, Iran.
Kini
diperkirakan ada 7.000-an mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Iran
untuk belajar, di samping ribuan lainnya yang sudah pulang ke Indonesia
dengan mengadakan pengajian ataupun mendirikan yayasan, dan kegiatan
lainnya.
Di
antara tempat pengajian, sekolah, dan pesantren milik Syiah adalah MT.
Ar-Riyahi; Pengajian Ummu Abiha, Pondok Indah Jakarta; Pengajian
Al-Bathul, Cililitan Jakarta; Majlis Ta’lim Al-Idrus, Purwakarta; Majlis
Ta’lim An-Nur, Tangerang; MT Al-Jawad, Tasikmalaya; dan Majlis Ta’lim
Al-Alawi, Probolinggo.
Dalam kategori pesantren, tercatat
- Pesantren YAPI, Bangil;
- Pesantren Al-Hadi, Pekalongan;
- SMA PLUS MUTHAHHARI, di Bandung dan Jakarta;
- ICAS (Islamic College for Advanced Studies), Jakarta cabang London;
- Sekolah Lazuardi dari Pra-TK sampai SMP, Jakarta;
- Sekolah Tinggi Madina Ilmu, Depok;
- dan Madrasah Nurul Iman, Sorong.
4. Pendirian Ormas
Pada
1998, turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan atau era
reformasi membawa dampak yang cukup signifikan bagi pemekaran Syiah di
Indonesia. Hal itu menjadi jalan mulus untuk menanam bibit Syiah di
Indonesia.
Bahkan, pada orde Gus Dur, berdirilah untuk pertama kalinya ormas Syiah secara resmi yang bernama IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia).
Ormas IJABI tepatnya berdiri pada tahun 2000 di Bandung dengan
Jalaludin Rakhmat menjabat Ketua Dewan Syura IJABI dan Dimitri Mahayana
sebagai Ketua Dewan Tanfidziyyah. Posisi IJABI kemudian semakin kokoh
setelah organisasi tersebut mendapatkan pengakuan legal formal dari
Pemerintah Indonesia pada 11 Agustus 2000.
Sampai
tahun 2008, anggota yang terdaftar mencapai jumlah 2,5 juta orang di 84
cabang dan 145 subcabang IJABI yang tersebar di 33 provinsi di
Indonesia. Pada kongres pertamanya di Bandung, Jalaludin Rakhmat
memberikan klaim bahwa organisasi tersebut memiliki tiga setengah juta
pengikut di seluruh Indonesia.
Organisasi lainnya yang didirikan Syiah antara lain
- Ikatan Pemuda Ahlulbait Indonesia (IPABI), Bogor;
- HPI—Himpunan Pelajar Indonesia—Iran;
- Shaf Muslimin Indonesia, Cawang;
- MMPII, Condet;
- FAHMI (Forum Alumni HMI), Depok;
- Himpunan Pelajar Indonesia di Republik Iran (ISLAT);
- Badan Kerja Sama Persatuan Pelajar Indonesia Se-Timur Tengah dan sekitarnya (BKPPI);
- dan Komunitas Ahlul Bait Indonesia (TAUBAT).
Kemudian pada 2011, di Bandung, kembali jamaah Syiah memprakarsai berdirinya Majelis Sunni Syiah Indonesia (MUHSIN) yang kemudian menjadi wadah sosial antara Sunni dan Syiah dalam versi yang ‘abu-abu’.
(Majalah Asy Syariah edisi 102 hlm. 11—14)
http://miratsul-anbiya.net/2014/08/05/syiah-di-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar